Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dan gas telah melonjak sekitar dua kali lipat atau lebih sejak awal 2021. Hal ini karena permintaan kembali meningkat setelah pandemi Covid-19 pada 2020.
Di samping itu, negara-negara di Barat yang menghindari pasokan energi dari Rusia juga menjadi penyebabnya naiknya harga minyak.
Dilansir dari BBC, Analis minyak dan gas dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Trey Cowan, mengatakan tantangan yang dihadapi perusahaan energi di Amerika Serikat (AS) belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut dia, perusahaan energi berskala besar sejauh ini terjebak dengan rencana investasi yang dibuat sebelum harga benar-benar melonjak dan memilih untuk menempatkan dana tersebut, terutama untuk pembayaran pemegang saham daripada produksi ekstra.
Sementara Wakil Presiden di S&P Global, Raoul LeBlanc, mengatakan bahwa investor mendorong perusahaan minyak untuk segera membagi keuntungannya. Investor tak lagi melakukan investasi jangka panjang mengingat ketidakpastian permintaan karena dunia mendorong untuk beralih dari bahan bakar fosil.
"Pasar khawatir bahwa permintaan tidak akan ada, dan aset ini akan terbengkalai. Jika tidak ada nilai jangka panjang dalam harga saham, itu berarti saya harus membayar dividen yang sangat agresif," papar LeBlanc dikutip Minggu (29/5/2022).
Dengan harga yang diperkirakan akan tetap tinggi, LeBlanc mengatakan perusahaan kemungkinan akan meningkatkan investasi.
"Perang Ukraina menyoroti bahwa kita masih hidup di dunia bahan bakar fosil. Transisi energi belum sepenuhnya, tetapi diskusi ini telah diseimbangkan kembali untuk memasukkan apa yang kita butuhkan dalam jangka pendek dan menengah," lanjut LeBlanc.
Di sisi lain, upaya menekan kenaikan harga minyak dan gas menimbulkan kekhawatiran di AS. Pasalnya Presiden AS Joe Biden mengkampanyekan perang terhadap perubahan iklim, di mana hal berarti berhenti memaksakan aturan lingkungan dalam mempercepat transisi ke energi terbarukan.
"Kami melihat pemerintahan Biden benar-benar bimbang pada komitmen iklim sebelumnya," kata analis riset Global Energy Monitor, Robert Rozansky.
Saat ini para pemimpin di Barat, termasuk Biden dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, telah meminta bantuan dari Arab Saudi serta produsen minyak lainnya.
Sementara Kanada yang merupakan produsen minyak terbesar keempat setelah AS, Arab Saudi, dan Rusia, telah memperbarui pembicaraan tentang mendapatkan proyek minyak dan gas yang telah lama terhenti, seperti terminal untuk mengekspor gas alam ke Eropa.
Harga Minyak dan Gas Tak Terkendali, Ini Penyebabnya - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment