Terjadinya lonjakan harga yang cukup tinggi berdampak terjadinya krisis energi di beberapa negara. Melihat kondisi ini Pertamina sebagai BUMN energi membuat perencanaan yang akurat untuk menjaga agar antara aspek ketahanan energi nasional dan kondisi korporasi tetap seimbang.
"Kita tidak menyamaratakan jumlah untuk seluruh daerah, tetapi disesuaikan, karena ada daerah yang solarnya tinggi, ada yang Pertalite-nya tinggi, ada juga Pertamax-nya. Ini kita coba lihat satu per satu dengan digitalisasi SPBU," ujar Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati dalam keterangan tertulis, seperti dikutip dari detikFinance, Sabtu (9/7/2022).
Tantangan berat di sektor hilir adalah harga keekonomian produk meningkat tajam. Sementara harga jual BBM dan LPG yang ditetapkan pemerintah sangat rendah.
Misalkan saja untuk harga BBM bersubsidi jenis Pertalite, harga jualnya masih tetap Rp 7.650 per liter, sedangkan harga pasar saat ini adalah Rp 17.200. Dengan harga jual tersebut untuk setiap liter Pertalite Pemerintah mensubsidi Rp 9.550.
Kemudian untuk Solar CN-48 atau Biosolar (B30), dijual dengan harga Rp 5.150 per liter, padahal harga keekonomiannya mencapai Rp 18.150. Jadi untuk setiap liter Solar, Pemerintah membayar subsidi Rp 13 ribu.
Begitu juga untuk LPG PSO (LPG 3 kg), di mana sejak 2007 belum ada kenaikan, harganya masih Rp 4.250 per kilogram, dan harga pasar Rp 15.698 per kg. Jadi subsidi dari pemerintah adalah Rp 11.448 per kilogram.
Untuk Pertamax, Pertamina masih mematok harga Rp 12.500. Padahal untuk RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp 17 ribu. Ini karena secara keekonomian harga pasar telah mencapai Rp 17.950.
"Kita masih menahan dengan harga Rp 12.500, karena kita juga pahami kalau Pertamax kita naikkan setinggi ini, maka shifting ke Pertalite akan terjadi, dan tentu akan menambah beban negara," kata Nicke.
Berita selengkapnya baca di sini.
Simak Video "Kapolri: 19 Tersangka Mafia BBM Bersubsidi Sudah Ditangkap"
[Gambas:Video 20detik]
(apl/ams)
Dijamin Kaget! Ini Harga Asli Pertalite Jika Tak Disubsidi - detikcom
Read More
No comments:
Post a Comment