Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyoroti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia. Lembaga Swadaya Masyarakat ini mendorong pemerintah untuk lebih transparan serta melakukan restrukturisasi harga BBM.
Ahmad Safrudin selaku Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) memaparkan pemerintah belum transparan membuka harga pokok penjualan (HPP) dari BBM yang dijual di Indonesia. Pria yang disapa Puput ini menduga informasi yang tertutup bisa membuka celah dalam mencari keuntungan yang lebih besar.
"Tidak transparannya HPP meningkatkan surplus produsen, artinya surplus produsen ini profit margin yang diambil oleh produsen terlalu tinggi tanpa di-declare kepada masyarakat berapa profit yang diambil," kata Puput dalam diskusi online, Senin, (6/9/2022) malam,
Menurutnya hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan negara tetangga seperti Malaysia dan Australia. Kedua negara tersebut bahkan sudah mengadopsi spek bahan bakar lebih tinggi dari Indonesia tapi banderolannya bisa lebih kompetitif.
"Ini berbeda dengan Australia maupun Malaysia, masyarakat bisa memantau profit margin yang diperoleh perusahaan minyak, itu berapa mereka tahu. Kita tidak tahu, karena tidak transparan."
"Sayangnya surplus produsen atau profit margin yang berlebihan ini tidak jatuh ke Pertamina, tapi jatuh ke oil trader pelaku impor BBM yang mungkin selama ini memasok BBM ke Pertamina," ceplos Puput.
Lebih lanjut dia mengatakan penetapan harga BBM Indonesia saat ini mengacu pada harga BBM di pasar minyak di Singapura MOPS (Mids Oil Plats Singapore). Namun kata dia, spesifikasi jenis BBM yang ditawarkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan regulasi Euro4.
"Di Indonesia terjadi surplus produsen terjadi secara terus menerus, mengingat harga BBM ditentukan berdasarkan patokan harga BBM dengan spek yang lebih tinggi yang ada di Bursa Minyak Singapura (MOPS) sehingga terjadi penyimpangan HPP,"
"Artinya kekeliruan pemerintah dalam menentukan BBM kita menggunakan MOPS, harga rata-rata BBM yang dipasarkan di Singapura. Namun pemerintah lalai atau mungkin sengaja, kelalain pemerintah tidak menetapkan spek bahan bakar kita," ungkapnya.
Puput menyebut misalnya bensin jenis Pertamax yang memiliki RON 92 namun tidak sesuai spesifikasi Euro4 di Indonesia.
"Pertamax, sekalipun RON 92, tetapi kadar belerangnya masih 100 ppm. Artinya Pertamax bensin kita di Indonesia tidak memenuhi syarat untuk digunakan berstandar Euro4, untuk kendaraan Euro2 memenuhi syarat," ucap dia.
Selain itu pemerintah juga dinilai kurang tepat menetapkan harga BBM jenis Pertalite. Dalam lampiran Kepmen ESDM No.62 Tahun 2020, Pertalite menggunakan perhitungan harga jual eceran bensin di bawah RON 95 dan jenis minyak solar CN 48 dihitung dengan formula Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus + Rp1.800 per liter + Margin (10% dari harga dasar).
"Ketika bensin ataupun solar di bursa minyak Singapura sebagai patokan BBM kita, misalnya pertalite 90 itu hanya standar Euro1, coba bayangkan standar Euro1 mengikuti BBM standar Euro6, kan gak adil jadinya. Ada manipulasi di sini. Tidak langung implementasi harga, tapi semacam down sizing kualitas bbm-nya."
"Seharusnya menggunakan MOPS dengan RON 92 kadar belerang 10 ppm, maka seharusnya yang diedarkan RON 92 dengan kadar 10 ppm, bukan sebaliknya menggunakan (standar) RON 92 10 ppm tetapi yang diedarkan RON 90 kadar belerang 150 ppm. Keharusan restrukturisasi harga BBM agar terhindar praktik manipulasi dan surplus produsen yang berlebihan," jelas Puput.
Simak Video "Demo Tolak Kenaikan BBM di DPRD NTB Ricuh Lagi!"
[Gambas:Video 20detik]
(riar/din)
Pertalite-Pertamax Naik, Pemerintah Diminta Transparan Buka Harga Dasar BBM - detikOto
Read More
No comments:
Post a Comment