Jakarta, CNBC Indonesia - Harga nikel dunia jatuh pada perdagangan hari ini ke posisi terendah dalam dua bulan terakhir. Para pelaku pasar cemas sikap agresif bank sentral membuat pemulihan ekonomi dunia melambat yang berakibat terhadap permintaan.
Pada Rabu (22/6/2022) pukul 16:16 WIB harga nikel dunia tercatat US$ 25.095/ton, merosot 3,29% dibandingkan harga penutupan kemarin.
"Logam dasar tetap tertekan oleh prospek permintaan yang menantang terkait dengan penguncian COVID-19 China dan pengetatan kebijakan moneter yang meningkatkan kekhawatiran resesi atas trade-off antara inflasi dan pertumbuhan," tulis Standard Chartered dalam sebuah catatan.
"Kami mengharapkan kompleks logam dasar untuk terus mengambil isyarat dari perkembangan makro, pergerakan USD, pergerakan pasar eksternal dan tren selera risiko."
Para investor menanti pernyataan Powell terkait langkah lanjutan The Fed setelah kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin. Menurut perangkat FedWatch milik CME group, investor melihat probabilitas sebesar 98,1% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 2,25-2,5%.
Naiknya suku bunga dipandang investor dapat mengerem lau pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini dikhawatirkan akan memangkas permintaan global untuk nikel.
Sementara itu, China melaporkan 126 kasus virus corona baru pada 21 Juni, di mana 31 di antaranya bergejala dan 95 tidak menunjukkan gejala, berdasarkan data Komisi Kesehatan Nasional.
Ibu kota China, Beijing, melaporkan empat kasus gejala lokal baru dengan dua kasus baru tanpa gejala. Shanghai juga melaporkan empat kasus baru bergejala lokal, di mana empat kasus baru tanpa gejala.
Kondisi Covid-19 di China menambah kekhawatiran akan penurunan permintaan nikel. Apalagi China adalah konsumen nikel terbesar di dunia. Menurut Statista, konsumsi China mencapai 1,31 juta ton. Permintaan dari juga memiliki pengaruh terhadap laju harga nikel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Powell Effect ke Mana-mana, Harga Nikel Merana
(ras/ras)
Brol! Harga Nikel Ambrol 3% Lebih - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment